UNIVERSITAS
GUNADARMA
FAKULTAS
TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
JURUSAN
TEKNIK ARSITEKTUR
Oleh
:
Muhammad
Ridwan Nawawi
1TB05
NPM
: 24315747
ILMU
BUDAYA DASAR
MATERI :
2.
Kesusastraan…………………………………………………….
1. MANUSIA
DAN KEBUDAYAAN
Manusia dan kebudayaan merupakan salah satu ikatan yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan ini. Manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna menciptakan kebudayaan mereka sendiri dan melestarikannya secara turun menurun. Budaya tercipta dari kegiatan sehari hari dan juga dari kejadian – kejadian yang sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa.
Manusia di dunia ini memegang peranan yang unik dan dapat di pandang dalam beberapa segi. Misalnya, manusia di pandang sebagai kumpulan dari partikel-partikel atom yang membentuk jaringan-jaringan system (ilmu kimia). Manusia merupakan makhluk biologis yang tergolong dalam golongan mamalia (ilmu biologi). Manusia sebagai makhluk social yang tidak dapat berdiri sendiri (ilmu sosiologi) dan lain sebagainya.
1. Manusia terdiri dari empat unsur yang saling terkait, yaitu:
v Jasad : badan kasar manusia yang dapat kita lihat, raba bahkan di foto dan menempati ruang dan waktu.
v Hayat : mengandung unsur hidup, yang di tandai dengan gerak.
v Ruh : bimbingan dan pimpinan Tuhan, daya yang bekerja secara spiritual dan memahami kebenaran, suatu kemampuan mencipta yang bersifat konseptual yang menjadi pusat lahirnya kebudayaan.
v Nafs : dalam pengertian diri atau keakuan, yaitu kesadaran akan diri sendiri.( Asy’arie, 1992 hal: 62-84).
2. Manusia sebagai satu kepribadian yang mengandung tiga unsur, yaitu:
v Id, merupakan struktur kepribadian yang paling primitive dan paling tidak tampak. Id merupakan energi psikis yang irrasional dan terkait dengan sex yang secara instingtual menentukan proses-proses ketidaksadaran (unconcius). Id diatur oleh kesenangan yang harus di penuhi,baik secara langsung melalui pengalaman seksual atau tidak langsung melalui mimpi atau khayalan.
v Ego, sering disebut “eksekutif” karena peranannya dalam menghubungkan kepuasan Id dengan saluran sosial agar dapat di terima oleh masyarakat. Ego diatur oleh prinsip realitas dan mulai berkembang pada anak antara usia satu dan dua tahun.
v Super ego, merupakan struktur kepribadian terakhir yang muncul kira-kira pada usia lima tahun. Super ego menunjukan pola aturan yang dalam derajat tertentu menghasilkan kontrol diri melalui sistem imbalan dan hukuman terinternalisasi. (freud, dalam Brennan, 1991; hal 205-206).
B. Kebudayaan
Definisi
Kebudyaan itu sendiri adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan
dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia,
sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Namun
kebudayaan juga dapat kita nikmati dengan panca indera kita. Lagu, tari, dan
bahasa merupakan salah satu bentuk kebudayaan yang dapat kita rasakan.
C.
Hubungan manusia dengan kebudayaan
Hubungan Antara Manusia dengan
Kebudayaan :
1.Kebudayaan-kebudayaan khusus atas
dasar faktor kedaerahan
Contoh: Adat-istiadat melamar di
Lampung dan Minangkabau. Di Minangkabau biasanya pihak permpuan yang melamar
sedangkan di Lampung, pihak laki-laki yang melamar.
2.Cara hidup di kota dan di desa
yang berbeda ( urban dan rural ways of life)
Contoh: Perbedaan anak yang
dibesarkan di kota dengan seorang anak yang dibesarkan di desa. Anak kota
bersikap lebih terbuka dan berani untuk menonjolkan diri di antara
teman-temannya sedangkan seorang anak desa lebih mempunyai sikap percaya pada
diri sendiri dan sikap menilai ( sense of value).
3.Kebudayaan-kebudayaan khusus kelas
sosial
Di masyarakat dapat dijumpai lapisan
sosial yang kita kenal, ada lapisan sosial tinggi, rendah dan menengah.
Misalnya cara berpakaian, etiket, pergaulan, bahasa sehari-hari dan cara
mengisi waktu senggang. Masing-masing kelas mempunyai kebudayaan yang tidak
sama, menghasilkan kepribadian yang tersendiri pula pada setiap individu.
Adanya berbagai masalah di dalam
satu agama pun melahirkan kepribadian yang berbeda-beda di kalangan umatnya.
5.Kebudayaan berdasarkan profesi
Misalnya: kepribadian seorang dokter
berbeda dengan kepribadian seorang pengacara dan itu semua berpengaruh pada
suasana kekeluargaan dan cara mereka bergaul. Contoh lain seorang militer
mempunyai kepribadian yang sangat erat hubungan dengan tugas-tugasnya.
Keluarganya juga sudah biasa berpindah tempat tinggal.
STUDI KASUS MANUSIA DAN KEBUDAYAAN
Holivest.
Holi atau Festival Warna adalah festival awal musim semi yang
dirayakan di India, Nepal, Bangladesh, dan negara-negara berikut yang memiliki
penduduk beragama Hindu: Suriname, Guyana, Afrika Selatan, Trinidad, Britania
Raya, Mauritius, dan Fiji. Di Benggala Barat dan Bangladesh, festival ini
disebut Dolyatra (Doul Jatra) atau Basanta-Utsab (festival musim
semi). Holi dirayakan secara besar-besaran di kawasan Braj di tempat-tempat
yang berkaitan dengan Sri Kresna seperti Mathura, Vrindavan, Nandagaon, dan Barsana.
Kota-kota tersebut ramai didatangi wisatawan selama musim festival Holi yang
berlangsung hingga 16 hari.Puncak perayaan Holi disebut Dhulheti, Dhulandi, atau Dhulendi. Pada hari itu, orang merayakan Holi dengan saling melemparkan bubuk berwarna-warni atau saling menyiramkan air berwarna-warni. Api unggun yang dinyalakan pada malam sebelum Holi disebut Holika Dahan (kematian Holika) atau Chhoti Holi (Holi kecil). Api dinyalakan untuk mengenang peristiwa lolosnya Prahlada ketika ingin dibakar oleh Holika (saudara perempuan Hiranyakasipu). Holika terbakar dan tewas, namun Prahlad yang penganut setia Dewa Wisnu selamat tanpa luka. Di Andhra Pradesh, Holika Dahan disebut Kama Dahanam.
Holi dirayakan pada akhir musim dingin ketika phalgun purnima, bulan purnama terakhir bulan pada bulan phalguna menurut kalender lunar, dan biasanya bertepatan dengan akhir Februari atau awal Maret. Pada tahun 2009, Holi (Dhulandi) jatuh pada tanggal 11 Maret dan Holika Dahan pada 10 Maret.
Akhir Festival Warna disebut Rangapanchami yang terjadi pada saat Panchami (hari ke-5 bulan purnama).
Festival ini salah satu kasus hubungan antara manusia dan kebudayaan
2. KESUSASTRAAN
Secara etimologi (menurut asal-usul kata)
kesusastraan berarti karangan yang indah. “sastra” (dari bahasa Sansekerta)
artinya : tulisan, karangan. Akan tetapi sekarang pengertian “Kesusastraan”
berkembang melebihi pengertian etimologi tersebut. Kata “Indah” amat luas
maknanya. Tidak saja menjangkau pengertian-pengertian lahiriah tapi terutama
adalah pengertian-pengertian yang bersifat rohaniah. Misalnya, bukankah pada
wajah yang jelak orang masih bisa menemukan hal-hal yang indah.
Sebuah cipta sastra yang indah, bukanlah karena
bahasanya yang beralun-alun dan penuh irama. Ia harus dilihat secara
keseluruhan: temanya, amanatnya dan strukturnya. Pada nilai-nilai yang
terkandung di dalam ciptasastra itu.
Ada beberapa nilai yang harus dimiliki oleh
sebuah ciptasastra. Nilai-nilai itu adalah : Nilai-nilai estetika, nilai-nilai
moral, dan nilai-nilai yang bersifat konsepsionil. Ketiga nilai tersebut
sesungguhnya tidak dapat dipisahkan sama sekali. Sesuatu yang estetis adalah
sesuatu yang memiliki nilai-nilai moral. Tidak ada keindahan tanpa moral. Tapi
apakah moral itu? Ia bukan hanya semacam sopan santun ataupun etiket belaka. Ia
adalah nilai yang berpangkal dari nilai-nilai tentang kemanusiaan. Tentang
nilai-nilai yang baik dan buruk yang universil. Demikian juga tentang
nilai-nilai yang bersifat konsepsionil itu. Dasarnya adalah juga nilai tentang
keindahan yang sekaligus merangkum nilai tentang moral.
Proses Penciptaan Kesusastraan
Seorang pengarang berhadapan dengan suatu
kenyataan yang ditemukan dalam masyarakat (realitas objektif). Realitas
objektif itu dapat berbentuk peristiwa-peristiwa, norma-norma (tata nilai),
pandangan hidup dan lain-lain bentuk-bentuk realitas objektif itu. Ia ingin
memberontak dan memprotes. Sebelum pemberontakan tersebut dilakukan (ditulis)
ia telah memiliki suatu sikap terhadap realitas objektif itu. Setelah ada suatu
sikap maka ia mencoba mengangankan suatu “realitas” baru sebagai pengganti
realitas objektif yang sekarang ia tolak. Hal inilah yang kemudian ia ungkapkan
di dalam ciptasastra yang diciptakannya. Ia mencoba mengutarakan sesuatu
terhadap realitas objektif yang dia temukan. Ia ingin berpesan melalui
ciptasastranya kepada orang lain tentang suatu yang ia anggap sebagai masalah
manusia.
Ia berusaha merubah fakta-fakta yang faktual
menjadi fakta-fakta yang imajinatif dan bahkan menjadi fakta-fakta yang
artistik. Pesan-pesan justru disampaikan dalam nilai-nilai yang artistik
tersebut. Ia tidak semata-mata pesan-pesan moral ataupun khotbah-khotbah
tentang baik dan buruk akan tetapi menjadi pesan-pesan yang artistik.
Pesan-pesan yang ditawarkan dalam keterpesonaan dan senandung.
Dalam
kesusastraan Indonesia masalah itu dengan jelas dapat dilihat. Misalnya
kenyataan-kenyataan yang ada sekitar tahun 20-an terutama dalam masyarakat
Minangkabau ialah masalah : kawin paksa. Pengarang kita pada waktu itu punya
suatu sikap dan tidak puas dengan realitas objektif itu. Sikap itu bersifat
subjektif: bahwa ia tidak senang dan memprotes. Akan tetapi sikap itu juga
bersifat intersubjektif karena sikap itu dirasakan pula sebagai aspirasi yang
umum. Sikap-sikap subjektif dan intersubjektif itulah yang kemudian diungkapkan
di dalam ciptasastra-ciptasasra.
Ciptasatra-ciptasastra
tiu tidak saja lagi sebagai pernyataan dari sikap akan tetapi juga merupakan
pernyataan dari ciri-ciri berhubung dengan realitas objektif tresebut.
Diungkapkan dalam suatu transformasi (warna) yang artistik, sesuai dengan
ukuran-ukuran (kriteria-kriteria) kesusastraan.
Karena
itu sebuah ciptasastra selain merupakan pernyataan hati nurani pengarangnya, ia
juga merupakan pengungkapan hati nurani masyarakatnya.
Di
dalamnya terdapat sikap, visi (pandangan hidup), cita-cita dan konsepsi dari
pengarangnya. Dari masalah kawin paksa misalnya dalam kesusastraan Indoneisa
lahirlah ciptasastra-ciptasastra : “Siti Nurbaya” dari Marah Rusli,
“Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” dari Hamka dan “Salah Asuhan” dari Abdul
Muis (untuk menyebut beberapa ciptasastra- ciptasastra yang baik).
SUMBER
: https://www.google.com