Selasa, 21 November 2017

TUGAS HUKUM DAN PRANATA PEMBANGUNAN
2






MUHAMMAD RIDWAN NAWAWI
24315747
3TB04

UNIVERSITAS GUNADARMA
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN JURUSAN ARSITEKTUR
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1992 TENTANG PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang:
a. bahwa dalam pembangunan nasional yang pada hakikatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia, perumahan dan permukiman yang layak, sehat, aman, serasi, dan teratur merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia dan merupakan faktor penting dalam peningkatan harkat dan martabat, mutu kehidupan serta kesejahteraan rakyat dalam masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
b. bahwa dalam rangka peningkatan harkat dan martabat, mutu kehidupan dan kesejahteraan tersebut bagi setiap keluarga Indonesia, pembangunan perumahan dan permukiman sebagai bagian dari pembangunan nasional perlu terus ditingkatkan dan dikembangkan secara terpadu, terarah, berencana, dan berkesinambungan;
c. bahwa peningkatan dan pengembangan pembangunan perumahan dan permukiman dengan berbagai aspek permasalahannya perlu diupayakan sehingga merupakan satu kesatuan fungsional dalam wujud tata ruang fisik, kehidupan ekonomi, dan sosial budaya untuk mendukung ketahanan nasional, mampu menjamin kelestarian lingkungan hidup, dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia Indonesia dalam berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
d. bahwa Undang-undang Nomor 1 Tahun 1964 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 6 Tahun 1962 tentang Pokok-pokok Perumahan (Lembaran Negara Tahun 1962 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2476) menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2611) sudah tidak sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan keadaan, dan oleh karenanya dipandang perlu untuk mengatur kembali ketentuan mengenai perumahan dan permukiman dalam Undang-undang yang baru

Undang-undang no. 4 tahun 1992 membahas tentang perumahan dan pemukiman. Perumahan dan permukiman merupakan kebutuhan dasar manusia dan mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa, dan perlu dibina serta dikembangkan demi kelangsungan dan peningkatan kehidupan dan penghidupan masyarakat.
Perumahan dan permukiman tidak dapat dilihat sebagai sarana kebutuhan kehidupan semata-mata, tetapi lebih dari itu merupakan proses bermukim manusia dalam menciptakan ruang kehidupan untuk memasyarakatkan dirinya, dan menampakkan jati dirinya.
Berdasarkan Undang-Undang no. 4 tahun 1992,
– Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga ;
– Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan ;
– Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan ;
Asas dan tujuannya :
Untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yaitu rumah, meningkatkan kesejahteraan rakyat, mewujudkan perumahan dan permukiman yang  layak di lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur, memberikan arah pertumbuhan wilayah dan persebaran penduduk yang rasional dan juga menunjang pembangunan di segala bidang.
Selain itu setiap individu/kelompok mempunyai hak untuk menempati, menikmati dan memiliki rumah layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur dan juga berkewajiban untuk berperan dalam pembangunan dan perumahan dan pemukiman. Setiap individu dan kelompok wajib mengikuti syarat dna pertaturan yang berlaku dalam memanfaatkan pembangunan perumahan dan permukiman berdasarkan undang-undang yang telah ditetapkan. Hal ini di laksananakan agar adanya keseimbangan terhadap lingkungan dan juga agar tercipta suasana pemukiman dan perumahan yang kondusif. Berdasarkan pasal 29 dalam undang-undang ini berisikan bahwa:
(1)Setiap warga negara mempunyai hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam pembangunan perumahan dan permukiman,
(2)Pelaksanaan peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan secara perseorangan atau dalam bentuk usaha bersama.
Untuk pembinaannya, pemerintah melakukan pembinaan di bidang perumahan dan permukiman dengan mengatur dan membimbing, memberi bantuan dan kemudahan, meneliti dan mengembangkan, merencanakan dan melaksanakan dan juga mengawasi dan mengendalikan.
Setiap pemilik rumah atau yang dikuasakannya wajib:
a. memanfaatkan rumah sebagaimana mestinya sesuai dengan fungsinya sebagai tempat tinggal              atau hunian
b. mengelola dan memelihara rumah sebagaimana mestinya.
Sumber :
KEBIJAKAN TENTANG RUMAH SUSUN
Latar belakang  :
 seiring pestnya pertumbuhan penduduk di dunia maka semakin tingginya kebutuhan terhadap tempat tinggal tetapi pertumbuhan penduduk yang pesat berbanding terbalik dengan ketersediaan lahan yang terbatas, maka sebagai solusi dari keterbatasan lahan sebagai tempat tinggal maka di bangunlah RUSUN (Rumah Susun).
Tetapi penyedian rumah susun sebagai pengganti dari rumah tinggal convensional bukan tanpa masalah banyak masalah yang di hadapi seperti :
1.      Tentang kepemilikan
2.      Sengketa Tanah
3.      Fungsi
4.      Kepadatan
5.      Kekumuhan
Sebagai solusi dari permasalahan diatas yaitu :
1.      Tentang kepemilkian
Masalah inindapat di atasi dengan perjanjian dan pembelian yang jelas, jadi jika semuanya sudah jelas dan transparant maka masalah tersebut tidk akan muncul.

2.      Tentang Sengketa Tanah
Solusi dari masasalah ini yaitu hampir sama dengan yang sebelumnya yaitu perjanjian yang transparant antara dua belah pihak dan di tegaskannya peraturan yang berlaku agar tidak ada oknum oknum yang memanfaatkan ketidak tahuan masyarakat awam

3.      Tentang Fungsi
Banyak rusun-rusun yang fungsinya menjadi berbeda dan menjadi tempat penyakit masyarakat, solusinya yaitu pengawasan, karena dengan pengawasan yang baik maka fungsi dari rusun tersebutpun akan sesuia dengan peruntukannya

4.      Tentang Kepadatan
Masalah yang sering di temui pada rusun yaitu kepadatan karena banyak rusun yang di tempati over capacity, solusinya yaitu dengan pengawasan dan design rusun itu sendiri misalnya dengan membuat unit unit yang tidak terlalu berdekatan atau di beri space

5.      Tentang Kekumuhan
Hampir setiap rusun memberikan kesan kumuh karena prilaku dari penghuninya yang kurang
peduli terhadap lingkungan sekitar, solusinya yaitu dengan memberikan edukasi kepada
setiap penghuni unit rusun terhdap kebesihan lingkungan dan dampak yang di timbulkan

Pengertian Hukum Perikatan

            Hukum perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi(pers onal law).
            Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Beberapa sarjana juga telah memberikan pengertian mengenai perikatan. Pitlo memberikan pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.
            Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian. Contohnya; perjanjian untuk tidak mendirikan bangunan yang sangat tinggi sehingga menutupi sinar matahari

Perikatan yang timbul karena perjanjian

1.      Suatu perikatan dapat lahir karena perjanjian ataupun karena undang-undang
Perikatan yang timbul karena Undang-Undang ialah perikatan yang lahir dari undang undang karena akibat dari perbuatan manusia, jadi bukan orang yang berbuat itu menetapkan adanya perikatan, melainkan UU yang menetapkan adanya perikatan. Dalam perikatan yang timbul dari UU, tidak berlaku asas kontrak seperti halnya yang ada pada perikatan yang timbul dari perjanjian.

2.       (A.)  Perbuatan melawan hukum
Pasal 1365 :
“Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Pasal 1365 KUHPerdata menentukan bahwa :
“Setiap perbuatan yang melawan hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut”.




Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige daad) dalam konteks perdata diatur dalam Pasal 1365Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek (“BW”),

 Dalam Buku III BW, pada bagian “Tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan demi Undang-Undang”, yang berbunyi:
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”

Menurut Rosa Agustina, dalam bukunya Perbuatan Melawan Hukum, terbitan Pasca Sarjana FH Universitas Indonesia (2003), hal. 117, dalam menentukan suatu perbuatan dapat dikualifisir sebagai melawan hukum, diperlukan 4 syarat:

1.    Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku
2.    Bertentangan dengan hak subjektif orang lain
3.    Bertentangan dengan kesusilaan
4.    Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.

Mencermati perluasan dari unsur “melanggar hukum” dari Pasal 1365 BW tersebut di atas, dalam praktek, Pasal 1365 BW sering disebut sebagai pasal “keranjang sampah”. Demikian menurut Rosa Agustina.

Sedangkan, dalam konteks hukum pidana, menurut pendapat dari Satochid Kartanegara, “melawan hukum” (Wederrechtelijk) dalam hukum pidana dibedakan menjadi:

1.    Wederrechtelijk formil, yaitu apabila sesuatu perbuatan dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.
2.    Wederrechtelijk Materiil, yaitu sesuatu perbuatan “mungkin” wederrechtelijk, walaupun tidak dengan tegas dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Melainkan juga asas-asas umum yang terdapat di dalam lapangan hukum (algemen beginsel).

Lebih lanjut, Schaffmeister, sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah dalam bukunya Pengantar Dalam Hukum Pidana Indonesia, hal. 168, berpendapat bahwa “melawan hukum” yang tercantum di dalam rumusan delik yang menjadi bagian inti delik sebagai “melawan hukum secara khusus” (contohPasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/KUHP), sedangkan “melawan hukum” sebagai unsur yang tidak disebut dalam rumusan delik tetapi menjadi dasar untuk menjatuhkan pidana sebagai “melawan hukum secara umum” (contoh Pasal 351 KUHP). 

Pendapat dari Schaffmeister ini benar-benar diterapkan dalam hukum positif di Indonesia, contohnya dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”). Dalam Pasal 2 UU Tipikor terdapat unsur melawan hukum, sedangkan dalam Pasal 3 UU Tipikor tidak dicantumkan unsur “melawan hukum”. Lebih jelas lagi dalam penjelasan Pasal 2 UU Tipikor disebutkan:

Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perudang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana

Menjawab pertanyaan Anda mengenai perbedaan perbuatan “melawan hukum” dalam konteks Hukum Pidana dengan dalam konteks Hukum Perdata adalah lebih dititikberatkan pada perbedaan sifat Hukum Pidana yang bersifat publik dan Hukum Perdata yang bersifat privat. Untuk itu, sebagai referensi, saya akan mengutip pendapat dari Munir Fuady dalam bukunya Perbuatan Melawan Hukum(Pendekatan Kontemporer), terbitan PT. Citra Aditya Bakti (Bandung: 2005), hal. 22, yang menyatakan:

Hanya saja yang membedakan antara perbuatan (melawan hukum) pidana dengan perbuatan melawan hukum (perdata) adalah bahwa sesuai dengan sifatnya sebagai hukum publik, maka dengan perbuatan pidana, ada kepentingan umum yang dilanggar (disamping mungkin juga kepentingan individu), sedangkan dengan perbuatan melawan hukum (perdata) maka yang dilanggar hanya kepentingan pribadi saja.”