TUGAS
HUKUM DAN PRANATA PEMBANGUNAN
2
MUHAMMAD RIDWAN NAWAWI
24315747
3TB04
UNIVERSITAS GUNADARMA
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN
PERENCANAAN JURUSAN ARSITEKTUR
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1992 TENTANG PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang:
a. bahwa dalam pembangunan
nasional yang pada hakikatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya
dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia, perumahan dan permukiman yang
layak, sehat, aman, serasi, dan teratur merupakan salah satu kebutuhan dasar
manusia dan merupakan faktor penting dalam peningkatan harkat dan martabat,
mutu kehidupan serta kesejahteraan rakyat dalam masyarakat adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
b. bahwa dalam rangka peningkatan
harkat dan martabat, mutu kehidupan dan kesejahteraan tersebut bagi setiap
keluarga Indonesia, pembangunan perumahan dan permukiman sebagai bagian dari
pembangunan nasional perlu terus ditingkatkan dan dikembangkan secara terpadu,
terarah, berencana, dan berkesinambungan;
c. bahwa peningkatan dan
pengembangan pembangunan perumahan dan permukiman dengan berbagai aspek permasalahannya
perlu diupayakan sehingga merupakan satu kesatuan fungsional dalam wujud tata
ruang fisik, kehidupan ekonomi, dan sosial budaya untuk mendukung ketahanan
nasional, mampu menjamin kelestarian lingkungan hidup, dan meningkatkan
kualitas kehidupan manusia Indonesia dalam berkeluarga, bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara;
d. bahwa Undang-undang Nomor 1
Tahun 1964 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor
6 Tahun 1962 tentang Pokok-pokok Perumahan (Lembaran Negara Tahun 1962 Nomor
40, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2476) menjadi Undang-undang (Lembaran Negara
Tahun 1964 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2611) sudah tidak sesuai
dengan kebutuhan dan perkembangan keadaan, dan oleh karenanya dipandang perlu
untuk mengatur kembali ketentuan mengenai perumahan dan permukiman dalam
Undang-undang yang baru
Undang-undang no. 4 tahun 1992 membahas
tentang perumahan dan pemukiman. Perumahan dan permukiman merupakan kebutuhan
dasar manusia dan mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pembentukan
watak serta kepribadian bangsa, dan perlu dibina serta dikembangkan demi
kelangsungan dan peningkatan kehidupan dan penghidupan masyarakat.
Perumahan dan permukiman tidak dapat dilihat sebagai sarana
kebutuhan kehidupan semata-mata, tetapi lebih dari itu merupakan proses
bermukim manusia dalam menciptakan ruang kehidupan untuk memasyarakatkan
dirinya, dan menampakkan jati dirinya.
Berdasarkan
Undang-Undang no. 4 tahun 1992,
– Rumah adalah bangunan yang berfungsi
sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga ;
– Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai
lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan
prasarana dan sarana lingkungan ;
– Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan
lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi
sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan
yang mendukung perikehidupan dan penghidupan ;
Asas dan tujuannya
:
Untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yaitu rumah, meningkatkan
kesejahteraan rakyat, mewujudkan perumahan dan permukiman yang layak di
lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur, memberikan arah pertumbuhan
wilayah dan persebaran penduduk yang rasional dan juga menunjang pembangunan di
segala bidang.
Selain itu setiap individu/kelompok mempunyai hak untuk menempati,
menikmati dan memiliki rumah layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi
dan teratur dan juga berkewajiban untuk berperan dalam pembangunan dan
perumahan dan pemukiman. Setiap individu dan kelompok wajib mengikuti syarat
dna pertaturan yang berlaku dalam memanfaatkan pembangunan perumahan dan
permukiman berdasarkan undang-undang yang telah ditetapkan. Hal ini di
laksananakan agar adanya keseimbangan terhadap lingkungan dan juga agar
tercipta suasana pemukiman dan perumahan yang kondusif. Berdasarkan pasal 29
dalam undang-undang ini berisikan bahwa:
(1)Setiap warga negara mempunyai hak dan kesempatan yang sama dan
seluas-luasnya untuk berperan serta dalam pembangunan perumahan dan permukiman,
(2)Pelaksanaan peran serta masyarakat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan secara perseorangan atau
dalam bentuk usaha bersama.
Untuk pembinaannya, pemerintah melakukan pembinaan di bidang
perumahan dan permukiman dengan mengatur dan membimbing, memberi bantuan dan
kemudahan, meneliti dan mengembangkan, merencanakan dan melaksanakan dan juga
mengawasi dan mengendalikan.
Setiap
pemilik rumah atau yang dikuasakannya wajib:
a.
memanfaatkan rumah sebagaimana mestinya sesuai dengan fungsinya sebagai tempat
tinggal atau hunian
b.
mengelola dan memelihara rumah sebagaimana mestinya.
Sumber :
KEBIJAKAN TENTANG RUMAH SUSUN
Latar
belakang :
seiring pestnya pertumbuhan penduduk di dunia
maka semakin tingginya kebutuhan terhadap tempat tinggal tetapi pertumbuhan
penduduk yang pesat berbanding terbalik dengan ketersediaan lahan yang
terbatas, maka sebagai solusi dari keterbatasan lahan sebagai tempat tinggal
maka di bangunlah RUSUN (Rumah Susun).
Tetapi
penyedian rumah susun sebagai pengganti dari rumah tinggal convensional bukan
tanpa masalah banyak masalah yang di hadapi seperti :
1.
Tentang
kepemilikan
2.
Sengketa
Tanah
3.
Fungsi
4.
Kepadatan
5.
Kekumuhan
Sebagai
solusi dari permasalahan diatas yaitu :
1.
Tentang
kepemilkian
Masalah inindapat di
atasi dengan perjanjian dan pembelian yang jelas, jadi jika semuanya sudah
jelas dan transparant maka masalah tersebut tidk akan muncul.
2.
Tentang
Sengketa Tanah
Solusi dari masasalah
ini yaitu hampir sama dengan yang sebelumnya yaitu perjanjian yang transparant
antara dua belah pihak dan di tegaskannya peraturan yang berlaku agar tidak ada
oknum oknum yang memanfaatkan ketidak tahuan masyarakat awam
3.
Tentang
Fungsi
Banyak rusun-rusun
yang fungsinya menjadi berbeda dan menjadi tempat penyakit masyarakat,
solusinya yaitu pengawasan, karena dengan pengawasan yang baik maka fungsi dari
rusun tersebutpun akan sesuia dengan peruntukannya
4.
Tentang
Kepadatan
Masalah yang sering
di temui pada rusun yaitu kepadatan karena banyak rusun yang di tempati over
capacity, solusinya yaitu dengan pengawasan dan design rusun itu sendiri
misalnya dengan membuat unit unit yang tidak terlalu berdekatan atau di beri
space
5.
Tentang
Kekumuhan
Hampir setiap rusun
memberikan kesan kumuh karena prilaku dari penghuninya yang kurang
peduli terhadap
lingkungan sekitar, solusinya yaitu dengan memberikan edukasi kepada
setiap penghuni unit
rusun terhdap kebesihan lingkungan dan dampak yang di timbulkan
Pengertian Hukum Perikatan
Hukum
perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan
antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan
pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini
merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa
hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa
perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property),
juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum
waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi(pers onal law).
Menurut
ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan
dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang
satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Beberapa sarjana juga telah
memberikan pengertian mengenai perikatan. Pitlo memberikan pengertian perikatan
yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau
lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain
berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.
Di
dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat
sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan
perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan
sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu
untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam
perjanjian. Contohnya; perjanjian untuk tidak mendirikan bangunan yang sangat
tinggi sehingga menutupi sinar matahari
Perikatan yang timbul karena
perjanjian
1.
Suatu perikatan dapat lahir karena perjanjian
ataupun karena undang-undang
Perikatan yang timbul karena Undang-Undang ialah perikatan yang lahir dari undang undang karena akibat dari perbuatan manusia, jadi bukan orang yang berbuat itu menetapkan adanya perikatan, melainkan UU yang menetapkan adanya perikatan. Dalam perikatan yang timbul dari UU, tidak berlaku asas kontrak seperti halnya yang ada pada perikatan yang timbul dari perjanjian.
Perikatan yang timbul karena Undang-Undang ialah perikatan yang lahir dari undang undang karena akibat dari perbuatan manusia, jadi bukan orang yang berbuat itu menetapkan adanya perikatan, melainkan UU yang menetapkan adanya perikatan. Dalam perikatan yang timbul dari UU, tidak berlaku asas kontrak seperti halnya yang ada pada perikatan yang timbul dari perjanjian.
2.
(A.) Perbuatan melawan hukum
Pasal 1365 :
“Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Pasal 1365 KUHPerdata menentukan bahwa :
“Setiap perbuatan yang melawan hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut”.
Pasal 1365 :
“Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Pasal 1365 KUHPerdata menentukan bahwa :
“Setiap perbuatan yang melawan hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut”.
Perbuatan Melawan
Hukum (onrechtmatige daad)
dalam konteks perdata diatur dalam Pasal
1365Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek (“BW”),
Dalam Buku III BW, pada bagian “Tentang
perikatan-perikatan yang dilahirkan demi Undang-Undang”, yang berbunyi:
“Tiap perbuatan
melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang
karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
Menurut Rosa Agustina, dalam bukunya Perbuatan Melawan Hukum, terbitan Pasca Sarjana FH
Universitas Indonesia (2003), hal. 117, dalam menentukan suatu perbuatan dapat
dikualifisir sebagai melawan hukum, diperlukan 4 syarat:
1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku
2. Bertentangan dengan hak subjektif orang lain
3. Bertentangan dengan kesusilaan
4. Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan
kehati-hatian.
Mencermati perluasan dari unsur “melanggar
hukum” dari Pasal 1365 BW tersebut di atas, dalam praktek, Pasal 1365 BW sering
disebut sebagai pasal “keranjang sampah”. Demikian menurut Rosa Agustina.
Sedangkan, dalam konteks hukum pidana,
menurut pendapat dari Satochid
Kartanegara, “melawan hukum” (Wederrechtelijk) dalam hukum pidana dibedakan menjadi:
1. Wederrechtelijk formil,
yaitu apabila sesuatu perbuatan dilarang dan diancam dengan hukuman oleh
undang-undang.
2. Wederrechtelijk Materiil,
yaitu sesuatu perbuatan “mungkin” wederrechtelijk, walaupun tidak dengan tegas dilarang
dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Melainkan juga asas-asas umum
yang terdapat di dalam lapangan hukum (algemen beginsel).
Lebih lanjut, Schaffmeister, sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah dalam
bukunya Pengantar
Dalam Hukum Pidana Indonesia, hal. 168, berpendapat bahwa “melawan hukum”
yang tercantum di dalam rumusan delik yang menjadi bagian inti delik sebagai
“melawan hukum secara khusus” (contohPasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/KUHP),
sedangkan “melawan hukum” sebagai unsur yang tidak disebut dalam rumusan delik
tetapi menjadi dasar untuk menjatuhkan pidana sebagai “melawan hukum secara
umum” (contoh Pasal
351 KUHP).
Pendapat dari Schaffmeister ini benar-benar
diterapkan dalam hukum positif di Indonesia, contohnya dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”). Dalam Pasal 2 UU
Tipikor terdapat unsur melawan hukum, sedangkan dalam Pasal 3 UU Tipikor tidak
dicantumkan unsur “melawan hukum”. Lebih jelas lagi dalam penjelasan Pasal 2 UU
Tipikor disebutkan:
Yang dimaksud dengan
“secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam
arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak
diatur dalam peraturan perudang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap
tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan
sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana
Menjawab pertanyaan Anda mengenai perbedaan
perbuatan “melawan hukum” dalam konteks Hukum Pidana dengan dalam konteks Hukum
Perdata adalah lebih dititikberatkan pada perbedaan sifat Hukum Pidana yang
bersifat publik dan Hukum Perdata yang bersifat privat. Untuk itu, sebagai
referensi, saya akan mengutip pendapat dari Munir Fuady dalam bukunya Perbuatan Melawan Hukum(Pendekatan
Kontemporer), terbitan PT. Citra Aditya Bakti (Bandung: 2005), hal. 22,
yang menyatakan:
“Hanya saja yang membedakan antara perbuatan (melawan
hukum) pidana dengan perbuatan melawan hukum (perdata) adalah bahwa sesuai
dengan sifatnya sebagai hukum publik, maka dengan perbuatan pidana, ada
kepentingan umum yang dilanggar (disamping mungkin juga kepentingan individu),
sedangkan dengan perbuatan melawan hukum (perdata) maka yang dilanggar hanya
kepentingan pribadi saja.”