Senin, 01 Januari 2018

TUGAS HUKUM DAN PRANATA PEMBANGUNAN



MUHAMMAD RIDWAN NAWAWI
24315747
3TB04



UNDANG UNDANG NO.12 TAHUN 1964
TENTANG
 PEMUTUSAN HUBBUNGAN KERJA



1. Mencabut: "Regeling Ontslagrecht voor bjpaalde neit Europese Arbeiders" (Staatsblad 1941 No. 396) dan peraturanperaturan lain mengenai pemutusan hubungan kerja seperti tersebut di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1601 sampai dengan 1603 Oud dan pasal 1601 sampai dengan 1603, yang berlawanan dengan ketentuan-ketentuan tersebut di dalam Undang-undang ini.
2. Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DI PERUSAHAAN SWASTA.
Pasal 1
(1) Pengusaha harus mengusahakan agar jangan terjadi Pemutusan Hubungan Kerja.
 (2) Pemutusan hubungan kerja dilarang:
a. Selama buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena keadaan sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan terus menerus.
 b. Selama buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena mematuhi kewajiban terhadap Negara yang ditetapkan oleh Undang-undang atau Pemerintah atau karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya dan yang disetujui Pemerintah.
Pasal 2
Bila setelah diadakan segala usaha pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindarkan, pengusaha harus merundingkan maksudnya untuk memutuskan hubungan kerja dengan organisasi buruh yang bersangkutan atau dengan buruh sendiri dalam hal buruh itu tidak menjadi anggota dari salah satu organisasi buruh.
Pasal 3
(1) Bila perundingan tersebut dalam pasal 2 nyata-nyata tidak menghasilkan persesuaian paham, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan buruh, setelah memperoleh izin Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah ( Panitia Daerah), termaksud pada pasal 5 Undang-undang No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara Tahun 1957 No. 42) bagi pemutusan hubungan kerja perorangan, dan dari Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (Panitia Pusat) termaksud pada pasal 12 Undang-undang tersebut di atas bagi pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.
(2) Pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran dianggap terjadi jika dalam satu perusahaan dalam satu bulan, pengusaha memutuskan hubungan kerja dengan 10 orang buruh atau lebih, atau mengadakan rentetan pemutusan-pemutusan hubungan kerja yang dapat menggambarkan suatu itikad untuk mengadakan pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.
Pasal 4
 Izin termaksud pada pasal 3 tidak diperlukan bila pemutusan hubungan kerja dilakukan terhadap buruh dalam masa percobaan. Lamanya masa percobaan tidak boleh melebihi tiga bulan dan adanya masa percobaan harus diberitahukan lebih dahulu pada calon buruh yang bersangkutan.
Pasal 5
 (1) Permohonan izin pemutusan hubungan kerja beserta alasan-alasan yang menjadi dasarnya harus diajukan secara tertulis kepada Panitia Daerah, yang wilayah kekuasaannya meliputi tempat kedudukan pengusaha bagi pemutusan hubungan kerja perorangan dan kepada Pusat bagi pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.
 (2) permohonan izin hanya diterima oleh Panitia Daerah/Panitia Pusat bila ternyata bahwa maksud untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan seperti termaksud dalam pasal 2 tetapi perundingan ini tidak menghasilkan persesuaian paham.
Pasal 6
Panitia Daerah dan Panitia Pusat menyelesaikan permohonan izin pemutusan hubungan kerja dalam waktu sesingkat-singkatnya, menurut tata cara yang berlaku untuk penyelesaian perselisihan perburuhan.
Pasal 7
 (1) Dalam mengambil keputusan terhadap permohonan izin pemutusan hubungan kerja, Panitia Daerah dan Panitia Pusat disamping ketentuan-ketentuan tentang hasil ini yang dimuat dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara Tahun 1957 No. 42),  memperhatikan keadaan dan perkembangan lapangan kerja serta kepentingan buruh dan perusahaan.
 (2) Dalam hal Panitia Daerah atau Panitia Pusat memberikan izin maka dapat ditetapkan pula kewajiban pengusaha untuk memberikan kepada buruh yang bersangkutan uang pesangon, uang jasa, dan ganti kerugian lain-lainnya.
 (3) Penetapan besarnya uang pesangon, uang jasa dan ganti kerugian lainnya diatur dalam Peraturan Menteri Perburuhan.
 (4) Dalam Peraturan Menteri Perburuhan itu diatur pula pengertian tentang upah untuk keperluan pemberian uang pesangon, uang jasa dan ganti kerugian tersebut di atas.
Pasal 8
Terhadap penolakan pemberian izin oleh Panitia Pusat atau pemberian izin dengan syarat tersebut pada pasal 7 ayat (2), dalam waktu 14 (empat betas) hari setelah pemutusan diterima oleh pihak-pihak yang bersangkutan, baik buruh dan/atau pengusaha maupun organisasi buruh/ atau organisasi pengusaha yang bersangkutan dapat diminta banding kepada Panitia Pusat.
Pasal 9
Panitia Pusat menyelesaikan permohonan banding menurut tata cara yang berlaku untuk penyelesaian perselisihan perburuhan dalam tingkat banding.
Pasal 10
Pemutusan hubungan kerja tanpa izin seperti tersebut pada pasal 3 adalah batal karena hukum.
Pasal 11
Selama izin termaksud pada pasal 3 belum diberikan, dan dalam hal ada permintaan banding tersebut pada pasal 8, Panitia Pusat belum memberikan keputusan, baik pengusaha maupun buruh harus tetap memenuhi segala kewajibannya.
Pasal 12
Undang-undang ini berlaku bagi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di perusahaan-perusahaan swasta, terhadap seluruh buruh dengan tidak menghiraukan status kerja mereka, asal mempunyai masa kerja dari 3 (tiga) bulan berturut-turut.
Pasal 13
Ketentuan-ketentuan pelaksanaan yang belum diatur dalam Undang-undang ini ditetapkan oleh Menteri Perburuhan.
Pasal 1
4 Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkannya. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Permasalahan
Belakangan ini banya masyarakat yang belum tau dan belum memahami tentang undang undang ini
Karena kurangnya mempelajari tentang peraturan peraturan yang ada di repiblik Indonesia, akibatnya banyak  dari masyarakat yang mendapat pemutusan hubungan keja oleh perusahaan tanpa sebab dan dia tidak mengajukan banding atau tuntutan kepada perusahaan tersebut,  dan banyak juga perusahaan yang tidak menerapkan undang undang ini atu bahkan mengabaikan sehingg banyak Pemutusan Hubungan Kerja yang tanpa sebab dan syarat yang jelas akibatnya masyarakat yang di rugikan. Selain itu Undang Undang hanya menjadi aturn tertulis saja tanpa adanya aplikasinya di lapangan.
Solusi
Untuk mengatasi masalah di atas yang terjadi di masyarakat pemerintah di tuntut untuk lebih mensosialisasikan tentang aturan aturan yang ada dan pemerintah pun harus lebih transparent mengenai peraturan yang berlaku di republik Indonesia, selain itu peran serta masyarakatpun sangat penting, masyarakat harus lebih mengetaui tentang aturan aturan yang berlaku Karena undang undang ini di bua untu kenyamanan masyarakat itu sendiri, pemerntah juga harus tegas terhadap perusahaan perusahaan yang kedapatan melanggar undang undang ini dan harus di beri sanksi yang tegas agar tidak terulang lagi dan agar menjadi pembelajaranbagi yang lainnya.
Kesimpulan
Ksimpulannya yaitu dalam penerapan undang undang ini harus ada peran dari semua pihak baik itu pemerintah,perusahaan dan masyarakat agar undang undang ini dapat menjadi aturan yang bermanfaat bagi semua pihak, dan juga pentingnya ketegasan  terhadap pelanggaran pelanggaran terhadap undang undang ini agar semua pelaku atau pelanggar menjadi kapok dan tidak mengulanginya kembali.

Sumber : dpr.go.id/dokjdih/document/uu/1432.pdf


Tidak ada komentar:

Posting Komentar