TUGAS HUKUM DAN PRANATA PEMBANGUNAN
MUHAMMAD RIDWAN NAWAWI
24315747
3TB04
UNDANG UNDANG NO.12 TAHUN 1964
TENTANG
PEMUTUSAN HUBBUNGAN KERJA
1. Mencabut: "Regeling Ontslagrecht voor bjpaalde neit
Europese Arbeiders" (Staatsblad 1941 No. 396) dan peraturanperaturan lain
mengenai pemutusan hubungan kerja seperti tersebut di dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata pasal 1601 sampai dengan 1603 Oud dan pasal 1601 sampai dengan
1603, yang berlawanan dengan ketentuan-ketentuan tersebut di dalam
Undang-undang ini.
2. Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PEMUTUSAN HUBUNGAN
KERJA DI PERUSAHAAN SWASTA.
Pasal 1
(1) Pengusaha harus mengusahakan agar jangan terjadi
Pemutusan Hubungan Kerja.
(2) Pemutusan
hubungan kerja dilarang:
a. Selama buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena
keadaan sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua
belas) bulan terus menerus.
b. Selama buruh
berhalangan menjalankan pekerjaannya karena mematuhi kewajiban terhadap Negara
yang ditetapkan oleh Undang-undang atau Pemerintah atau karena menjalankan
ibadah yang diperintahkan agamanya dan yang disetujui Pemerintah.
Pasal 2
Bila setelah diadakan segala usaha pemutusan hubungan kerja
tidak dapat dihindarkan, pengusaha harus merundingkan maksudnya untuk
memutuskan hubungan kerja dengan organisasi buruh yang bersangkutan atau dengan
buruh sendiri dalam hal buruh itu tidak menjadi anggota dari salah satu
organisasi buruh.
Pasal 3
(1) Bila perundingan tersebut dalam pasal 2 nyata-nyata
tidak menghasilkan persesuaian paham, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan
kerja dengan buruh, setelah memperoleh izin Panitia Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan Daerah ( Panitia Daerah), termaksud pada pasal 5 Undang-undang No.
22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara
Tahun 1957 No. 42) bagi pemutusan hubungan kerja perorangan, dan dari Panitia
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (Panitia Pusat) termaksud pada pasal
12 Undang-undang tersebut di atas bagi pemutusan hubungan kerja secara
besar-besaran.
(2) Pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran dianggap
terjadi jika dalam satu perusahaan dalam satu bulan, pengusaha memutuskan
hubungan kerja dengan 10 orang buruh atau lebih, atau mengadakan rentetan
pemutusan-pemutusan hubungan kerja yang dapat menggambarkan suatu itikad untuk
mengadakan pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.
Pasal 4
Izin termaksud pada
pasal 3 tidak diperlukan bila pemutusan hubungan kerja dilakukan terhadap buruh
dalam masa percobaan. Lamanya masa percobaan tidak boleh melebihi tiga bulan
dan adanya masa percobaan harus diberitahukan lebih dahulu pada calon buruh
yang bersangkutan.
Pasal 5
(1) Permohonan izin
pemutusan hubungan kerja beserta alasan-alasan yang menjadi dasarnya harus
diajukan secara tertulis kepada Panitia Daerah, yang wilayah kekuasaannya
meliputi tempat kedudukan pengusaha bagi pemutusan hubungan kerja perorangan
dan kepada Pusat bagi pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.
(2) permohonan izin
hanya diterima oleh Panitia Daerah/Panitia Pusat bila ternyata bahwa maksud
untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan seperti termaksud dalam
pasal 2 tetapi perundingan ini tidak menghasilkan persesuaian paham.
Pasal 6
Panitia Daerah dan Panitia Pusat menyelesaikan permohonan
izin pemutusan hubungan kerja dalam waktu sesingkat-singkatnya, menurut tata
cara yang berlaku untuk penyelesaian perselisihan perburuhan.
Pasal 7
(1) Dalam mengambil
keputusan terhadap permohonan izin pemutusan hubungan kerja, Panitia Daerah dan
Panitia Pusat disamping ketentuan-ketentuan tentang hasil ini yang dimuat dalam
Undang-undang No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
(Lembaran Negara Tahun 1957 No. 42),
memperhatikan keadaan dan perkembangan lapangan kerja serta kepentingan
buruh dan perusahaan.
(2) Dalam hal Panitia
Daerah atau Panitia Pusat memberikan izin maka dapat ditetapkan pula kewajiban
pengusaha untuk memberikan kepada buruh yang bersangkutan uang pesangon, uang
jasa, dan ganti kerugian lain-lainnya.
(3) Penetapan
besarnya uang pesangon, uang jasa dan ganti kerugian lainnya diatur dalam
Peraturan Menteri Perburuhan.
(4) Dalam Peraturan
Menteri Perburuhan itu diatur pula pengertian tentang upah untuk keperluan
pemberian uang pesangon, uang jasa dan ganti kerugian tersebut di atas.
Pasal 8
Terhadap penolakan pemberian izin oleh Panitia Pusat atau
pemberian izin dengan syarat tersebut pada pasal 7 ayat (2), dalam waktu 14
(empat betas) hari setelah pemutusan diterima oleh pihak-pihak yang
bersangkutan, baik buruh dan/atau pengusaha maupun organisasi buruh/ atau
organisasi pengusaha yang bersangkutan dapat diminta banding kepada Panitia
Pusat.
Pasal 9
Panitia Pusat menyelesaikan permohonan banding menurut tata
cara yang berlaku untuk penyelesaian perselisihan perburuhan dalam tingkat
banding.
Pasal 10
Pemutusan hubungan kerja tanpa izin seperti tersebut pada
pasal 3 adalah batal karena hukum.
Pasal 11
Selama izin termaksud pada pasal 3 belum diberikan, dan
dalam hal ada permintaan banding tersebut pada pasal 8, Panitia Pusat belum
memberikan keputusan, baik pengusaha maupun buruh harus tetap memenuhi segala
kewajibannya.
Pasal 12
Undang-undang ini berlaku bagi pemutusan hubungan kerja yang
terjadi di perusahaan-perusahaan swasta, terhadap seluruh buruh dengan tidak
menghiraukan status kerja mereka, asal mempunyai masa kerja dari 3 (tiga) bulan
berturut-turut.
Pasal 13
Ketentuan-ketentuan pelaksanaan yang belum diatur dalam
Undang-undang ini ditetapkan oleh Menteri Perburuhan.
Pasal 1
4 Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkannya.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan
undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Permasalahan
Belakangan ini banya masyarakat yang belum tau dan belum
memahami tentang undang undang ini
Karena kurangnya mempelajari tentang peraturan peraturan
yang ada di repiblik Indonesia, akibatnya banyak dari masyarakat yang mendapat pemutusan
hubungan keja oleh perusahaan tanpa sebab dan dia tidak mengajukan banding atau
tuntutan kepada perusahaan tersebut, dan
banyak juga perusahaan yang tidak menerapkan undang undang ini atu bahkan
mengabaikan sehingg banyak Pemutusan Hubungan Kerja yang tanpa sebab dan syarat
yang jelas akibatnya masyarakat yang di rugikan. Selain itu Undang Undang hanya
menjadi aturn tertulis saja tanpa adanya aplikasinya di lapangan.
Solusi
Untuk mengatasi masalah di atas yang terjadi di masyarakat
pemerintah di tuntut untuk lebih mensosialisasikan tentang aturan aturan yang
ada dan pemerintah pun harus lebih transparent mengenai peraturan yang berlaku
di republik Indonesia, selain itu peran serta masyarakatpun sangat penting,
masyarakat harus lebih mengetaui tentang aturan aturan yang berlaku Karena
undang undang ini di bua untu kenyamanan masyarakat itu sendiri, pemerntah juga
harus tegas terhadap perusahaan perusahaan yang kedapatan melanggar undang
undang ini dan harus di beri sanksi yang tegas agar tidak terulang lagi dan
agar menjadi pembelajaranbagi yang lainnya.
Kesimpulan
Ksimpulannya yaitu dalam penerapan undang undang ini harus
ada peran dari semua pihak baik itu pemerintah,perusahaan dan masyarakat agar
undang undang ini dapat menjadi aturan yang bermanfaat bagi semua pihak, dan
juga pentingnya ketegasan terhadap
pelanggaran pelanggaran terhadap undang undang ini agar semua pelaku atau
pelanggar menjadi kapok dan tidak mengulanginya kembali.
Sumber : dpr.go.id/dokjdih/document/uu/1432.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar